Gelar Haji dan Hajjah: Jejak Kolonialisme yang Masih Subur

Ilustrasi

Haji dan hajjah, gelar yang digunakan oleh umat Muslim Indonesia setelah menunaikan rukun Islam kelima, memiliki sejarah yang tidak menyenangkan dan erat kaitannya dengan kolonialisme. Menurut sejarawan Asep Kambali, gelar ini sebenarnya adalah pemberian Belanda, bukan berasal dari Kakbah, Tuhan, atau Nabi Muhammad. Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya melakukan ibadah haji tanpa menggunakan gelar, dan hal serupa juga dapat ditemukan pada ulama dan pahlawan yang telah menunaikan haji.


Contoh yang diberikan oleh Asep adalah Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Umar, yang telah menunaikan haji namun tidak menggunakan gelar. Perbedaan ini jelas terlihat jika dibandingkan dengan kondisi umat Muslim saat ini dan pahlawan di era setelah mereka.


Asep menjelaskan latar belakang dan penyebab Belanda menerapkan aturan pemberian gelar haji. Pemberian gelar haji pertama kali diterapkan pada tahun 1916 berdasarkan aturan dalam Staatsblad 1903. Setelah penerapan aturan ini, para jamaah haji menerima sertifikat dan gelar di depan namanya.


Pemberian gelar haji ini dilatarbelakangi oleh ketakutan dan kekhawatiran Belanda terhadap paham Pan-Islamisme. Paham ini dianggap sebagai penyebab kerusuhan, keributan, dan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pemerintah kolonial meyakini bahwa jamaah haji terpapar paham ini saat berada di Mekah. Pada masa itu, pelaksanaan ibadah haji juga melibatkan pendidikan agama selama empat bulan.


Saat berada di Mekah itulah, para jamaah haji berkenalan dengan paham Pan-Islamisme. Belanda khawatir bahwa paham ini akan diterapkan di Indonesia dan menyebabkan perlawanan yang lebih besar. Terlebih lagi, mereka yang telah menunaikan haji dianggap sebagai orang yang suci dan memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat.


Menurut Asep, pemberian gelar haji memudahkan pemerintah kolonial Belanda dalam mengawasi para jamaah setelah pulang dari Mekah. Belanda berharap bahwa perlawanan dari para jamaah haji yang nantinya menjadi pahlawan lebih mudah untuk diredam.


Selain itu, gelar haji juga berkaitan dengan perlawanan Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Taktik pemberian gelar ini ternyata sangat tepat karena beberapa organisasi Islam besar didirikan oleh tokoh-tokoh setelah mereka menunaikan haji. Organisasi-organisasi ini memainkan peran penting dalam gerakan perlawanan dan masih eksis hingga kini. Contohnya adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912, Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh KH Hasyim Asy'ari pada tahun 1926, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh KH Samanhudi pada tahun 1905, dan Serikat Islam (SI) yang didirikan oleh HOS Tjokroaminoto pada tahun 1912.


Perlawanan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi ini memiliki sifat yang berbeda dengan perlawanan pada awal penjajahan Belanda. Perlawanan pada masa awal penjajahan cenderung tidak terkoordinasi, berskala kecil, dan mengandalkan kekuatan fisik semata. Jenis perlawanan ini mudah diredam dan seringkali tidak tercatat dalam sejarah.


Dengan adanya organisasi pergerakan yang lebih terstruktur, perlawanan terhadap penjajah menjadi lebih teratur dan menggunakan strategi yang lebih cerdas. Keteraturan ini memungkinkan terjadinya perlawanan dalam skala yang lebih besar dengan dampak yang lebih positif bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentu saja, penjajah merasa dirugikan dengan munculnya era perlawanan baru ini.


Pertimbangan inilah yang mendorong Belanda untuk menyusun pelaksanaan ibadah haji agar lebih terkoordinasi. Belanda tidak melarang umat Muslim untuk menunaikan haji, namun mereka mengatur agar haji menjadi lebih terorganisasi, sehingga memudahkan pengawasan terhadap para jamaah.


Selain memberikan gelar, para jamaah haji juga diwajibkan untuk menjalani karantina selama empat bulan sebelum dan sesudah menunaikan haji. Karantina ini tidak hanya bertujuan untuk mencegah masuknya penyakit dari luar Indonesia, tetapi juga sebagai upaya Belanda untuk mengawasi dan mengendalikan para jamaah haji yang mungkin menunjukkan tanda-tanda perlawanan selama karantina.


Dengan demikian, gelar haji yang digunakan oleh umat Muslim Indonesia ternyata memiliki sejarah yang terkait dengan kolonialisme. Gelar ini diberikan oleh Belanda sebagai bagian dari upaya mereka untuk mengawasi dan mengendalikan perlawanan umat Muslim yang menunaikan haji. Meskipun gelar ini tetap digunakan hingga saat ini, penting bagi kita untuk menyadari sejarah di baliknya dan mengenang perjuangan para pahlawan yang telah menunaikan haji tanpa menggunakan gelar.

Post a Comment

أحدث أقدم